Jakarta 22 Desember 2023, Pada hari ini, kami berkumpul bersama sebagai warga yang tinggal melintasi dan mencintai Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) untuk menyampaikan Maklumat Keprihatinan Bersama atas Rancangan Undang-Undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU PDKJ) yang merupakan usulan inisiatif DPR-RI pada 5 Desember 2023 lalu, bertempat di Kedai Tempo, Komunitas Utan Kayu, Jl.Utan Kayu Raya No.68H, RT.13, RW.06, Kel. Utan Kayu Utara, Kec.Matraman, Jakarta Timur, (22/12/2023)
Kami yang terdiri dari berbagai latar belakang profesi, kelompok dan organisasi ini bersepakat menolak dan mendesak pembatalan RUU PDKJ tersebut karena bertentangan dengan konstitusi
(Pasal 18, UUD 1945 – Amandemen Keempat) dan demokrasi sejati – yang menjamin otonomi
daerah, kedaulatan rakyat serta partisipasi warga demi terwujudnya pemulihan lingkungan hidup
dan keadilan spasial.
Maklumat ini perlu disampaikan untuk mengingatkan pada seluruh warga dan pemangku kebijakan bahwa salah satu tujuan berkota dan pilar pembangunan yang berkelanjutan adalah keadilan
spasial. Keadilan spasial merupakan prinsip kesetaraan hak setiap orang untuk mengakses dan menggunakan ruang, sumber daya, dan kesempatan pada kota atau ruang hidupnya (Soja, 1989).
Jakarta, seluruh wilayah di Indonesia bahkan dunia seperti kita ketahui tengah mengalami
berbagai krisis. Mulai dari pelayanan publik dan infrastruktur utama, penggunaan lahan dan
keterjangkauan perumahan, kerusakan lingkungan hidup dan pendidihan global (global boiling), pengakuan dan perlindungan warisan budaya/identitas, serta partisipasi warga dalam menentukan
pilihan dan keputusan.
Cakupan krisis tersebut
memiliki dampak pada kualitas air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, ruang hijau; akses yang adil terhadap perumahan yang aman dan terjangkau, bebas dari pemindahan paksa dan gentrifikasi; akses yang adil terhadap lingkungan
hidup yang aman dan sehat, serta meminimalkan paparan yang tidak proporsional pada kelompok marginal dari ancaman kerusakan lingkungan hidup; pengakuan dan penghormatan nilai-nilai budaya dan sejarah yang beragam dari berbagai komunitas di dalam kota; dan jaminan partisipasi
warga yang inklusif dan bermakna dalam membentuk rencana dan kebijakan pembangunan kota.
Dalam mengatasi seluruh krisis tersebut, kita tidak boleh menggunakan kebijakan yang sewenang-wenang, kedaulatan rakyat harus dihormati-dilindungi melalui proses demokrasi yang
sejati.
Semua itu tidak terjadi pada RUU PDKJ, karena:
(1) prosesnya tidak transparan
(2) dibuat secara
tergesa-gesa, dan tanpa menyertakan naskah akademik; dan
(3) tidak melibatkan pemangku
kebijakan yang luas seperti kelompok warga yang berkepentingan dan pimpinan/perwakilan dari daerah-daerah yang akan dikelola. Selain itu, isi RUU PDKJ juga sarat masalah, yakni:
(4)
menghapus pemilihan langsung dan sebaliknya, gubernur dan wakilnya akan ditunjuk oleh presiden dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD;
(5) adanya Dewan
Kota/Kabupaten yang fungsinya akan tumpang-tindih dengan DPRD;
(6) adanya pembahasan
Kawasan Aglomerasi yang membuat ruang lingkup RUU PDKJ tidak jelas, karena menyebutkan wilayah lain, yakni: Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur;
(7) adanya Dewan Kawasan
Aglomerasi yang harus dipimpin Wakil Presiden; dan (8) adanya pengaturan suara dalam penentuan Kepala/Wakil Kepala pada Badan Layanan Bersama Kawasan Aglomerasi yang ditentukan berdasarkan proporsi modal/saham.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan adanya upaya perampasan danpengelolaan spasial oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Selain mencederai konstitusi, RUU PDKJ ini telah membuat perjuangan otonomi daerah sebagai salah satu amanat reformasi menjadi kembali lagi ke titik nol. Perlu diingat bahwa otonomi daerah setidaknya memberi ruang bagi warga kota untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi pemenuhan hak dasarnya, yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karenanya, RUU DKJ ini perlu memiliki kajian akademik yang sangat kritis untuk memperoleh solusi jitu pemenuhan kebutuhan dan hak dasar warga kota melalui program pembangunan yang komprehensif. Naskah tersebut perlu disampaikan secara transparan untuk memperoleh ide dan kritik penyempurnaan sehingga UU DKJ kelak menjadi milik warga kota, bukan segelintir elit.
Tujuan RUU ini seyogyanya setia pada tujuan bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum. Dan sebaliknya, bukan hanya memuluskan kepentingan pusat serta terfokus pada efisiensi sistem pelaksanaan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) semata yang berorientasi fisik. Pengalaman sejak merdeka tahun 1945 memperlihatkan bahwa ketimpangan kesejahteraan terjadi sebagai hasil dari asimetri penguasaan
sumber daya. Perencanaan dan pengelolaan kawasan yang sembarangan dapat membuat
perkembangan budaya/identitas daerah di sekitar Jakarta yang sedang tumbuh akan semakin tergerus. Jakarta sendiri saja sudah mengalami problem identitasnya, saat budaya Betawi tengah bangkit, di tengah tekanan budaya global.
RUU PDKJ pada dasarnya merupakan kebijakan publik. Kata kebijakan, menurut KBBI adalah kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan. Kata tersebut memiliki kata dasar ‘bijak’ yang artinya selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir dari sumber rujukan yang sama. Dengan demikian, RUU ini sudah seharusnya bukan sekedar ide akal yang mengutamakan efisiensi, namun seharusnya: budi bersih dan luhur untuk memenuhi hak dasar warga kota dan memajukan kesejahteraan umum, sebagai salah satu tujuan bernegara.
Kita yang peduli pada Jakarta tidak boleh semudah itu untuk dikelabui. Sejarah Jakarta adalah sejarah perjuangan dan perlawanan. Kita tidak boleh tinggal diam pada niat jahat yang ingin merampas kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan warga.
Oleh karena itu, kami mengajak seluruh warga untuk bergabung dan berjuang bersama-sama
untuk membatalkan RUU PDKJ tersebut.
#JakartaPrihatin #TolakRUUPDKJ #JakartaKeras #PulihkanJKT
Jakarta, Jumat, 22 Desember 2023
Atas nama Pemulihan Lingkungan Hidup, Demokrasi Partisipatoris dan Keadilan Spasial
Silahkan isi nama individu/ lembaga:
1. Alif Iman (Senat Mahasiswa STF Driyarkara),
2. Alwi Rubidium Sjaaf (Rembuk Kota),
3. Andesha Hermintomo (Dialokota),
4. Chandra Pradita,
5. Doti Windajani,
6. John Muhammad,
7. Joko Adianto,
8. Mario Wibisono,
9. Miya Irawati (Akademisi/ Public Virtue Research Institute),
10. Prima Abdullah (Rembuk Kota),
11. Relan Masato (Adhipati),
12. Sandyawan Sumardi,
13. Suci Fitriah Tanjung (WALHI Jakarta),
14. Wenny Mustikasari,
15. Public Virtue Research Institute
16. Aswin Griksa,
17. Muhamad Gauzal (Prodi Arsitektur, Univ Azzahra)